SINGGALANG

Selamat datang di Blog Taragak Jo Singgalang....
Silahkan kirim artikel, Foto dan Cerita anda :......
atau silahkan kirim email ke taragakjomersi@gmail.com

Selasa, 30 Desember 2008

Gunung Singgalang


GUNUNG SINGGALANG (2877 mdpl)


Gambaran Umum

Gunung Singgalang terletak berdekatan dengan dua gunung lainnya, yaitu Gunung Tandikek pada bagian yang sama dan Gunung Merapi pada bagian yang lainnya.
Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh Gunung Singgalang adalah Telaga Dewi, yang berada pada ketinggian 2762 mdpl dengan luas sekitar 1 ha. Disamping air yang jernih, daerah disekitar telaga dapat dijadikan sebagai tempat menginap bagi para pendaki.
Untuk mencapai Koto Baru sebagai titik awal pendakian, dari Padang anda dapat menggunakan Bus jurusan Bukittinggi, yang bisa ditemukan di Terminal Regional Bingkuang, Aie Pacah, dengan ongkos Rp 8.000,- beberapa diantaranya ANS dan NPM dan dengan lama perjalanan sekitar 2 jam.

Sedangkan bagi anda yang ingin naik dari rute Salimparik, anda harus turun di daerah Padang Lua (setelah Koto Baru kalau dari Padang).
Rute Perjalanan / Pendakian
Dari Padang ke Koto Baru,di pasar kotobaru [simpang pandai sikek] tunggu angkot ke desa tanjung, dari sini (sebagai titik awal pendakian) memakan waktu sekitar 2 jam berjalan kaki menuju Pesanggrahan (sekarang disamping Tower RCTI), yang juga merupakan tempat untuk melaporkan pendakian. Anda juga bisa menggunakan angkutan pedesaan (biasa disebut dengan Cigak Baruak) berupa Carry.

Untuk menuju ke Telaga Dewi atau ke puncak Gunung Singgalang (Pilar), tidak susah lagi untuk mencari pedoman perjalanan, dengan adanya tiang-tiang listrik yang terpasang sampai ke tower RCTI di Pilar. Bagi saya, tiang listrik tersebut merusak dan menghancurkan keindahan yang ada, dan juga membuat perjalanan menjadi amat membosankan, apabila ditambah dengan petunjuk-petunjuk "iseng" yang dipasang di tiang listrik tersebut. "50 tiang lagi, puncak!". "10 tiang lagi, puncak!". Gila! bukannya menikmati perjalanan dan keindahan yang sudah dirusak oleh tiang listrik, kita malah jadi sibuk menghitung-hitung tiang listrik yang kita lewati.
Bagi anda yang lebih menyukai rute perjalanan yang sunyi dan jarang dilewati oleh pendaki lainnya serta pemandangan yang masih alami, anda dapat menggunakan rute dari Salimparik, Sungai Tanang (saya sendiri mungkin lebih menyarankan anda untuk naik Gunung Singgalang dari rute ini, lebih nyaman dan lebih landai, walaupun memakan waktu yang lebih lama kalau dibandingkan dari Koto Baru).

Dari simpang Padang Luar (Pasar Padang Luar), anda dapat naik angkutan pedesaan menuju ke Dusun Salimparik dengan ongkos Rp 1.500,- dan turun di batas akhir jalan, dimana mobil akan berputar lagi ke bawah.
Kalau anda tidak ingin melakukan pendakian malam hari, sebaiknya pendakian dilakukan paling lambat pada jam 13.00, dimana dengan perjalanan santai memakan waktu sekitar 3 jam menuju ke bivak I. Sebelum menuju ke bivak I (sekitar 15 m sebelum bivak I, kita akan memotong aliran sungai (pindah punggungan), yang merupakan sumber air pada saat kita menginap di area ini.

Apabila anda berniat naik pagi (sekitar jam 09.00), anda bisa mencapai bivak II (sekitar jam 16.00). Pada area ini, kalau anda mau, banyak tumbuhan hutan yang bisa di makan, seperti pakis gajah, begonia, arbei, dan beberapa tumbuhan lainnya.
Dari bivak II, apabila berangkat sekitar jam 09.00, dengan jalan santai anda akan sampai di Cadas sekitar pukul 13.00. Untuk masuk ke daerah cadas, dari rute perjalanan sebelumnya anda akan bertemu simpang jalan (kedua jalan tersebut sama-sama mengarah ke Telaga Dewi, jadi anda bisa memilih rute yang anda suka). Untuk rute yang mengarah ke kanan, maka dalam jarak sekitar 10 m anda akan sampai di daerah cadas, dan 100 m dari sana kembali masuk hutan yang menuju ke daerah Telaga Dewi.

Sumber Air

Untuk rute dari Salimparik, sumber mata air yang dapat digunakan adalah anak-anak sungai yang walaupun dalam kondisi kemarau masih dialiri oleh air. Pada bivak I (tempat bermalam yang dapat digunakan di perjalanan), sumber air adalah aliran air pada lembah yang kita lintasi dalam perjalanan. Sedangkan pada bivak II, sumber airnya adalah aliran air yang sama pada bivak I, namun untuk mencapainya turun agak jauh ke bawah, sekitar 10 m ke arah kiri jalur.
Baca Selengkapnya .. :-)

Kamis, 25 Desember 2008

PENCOPET PASA ATEH 1964

Hari Rabaa pukuah satu, Sadang rami di Bukiktinggi, Urang manggaleh barang mudo. Begitu bunyi awal sebait pantun. Bukit Tinggi di hari Rabaa, alias hari Rabu sebagaimana juga di hari Sabtu ramai allahurabbi. Orang datang dari seputar Agam, bahkan dari Tanah Datar, Lima Puluh Koto dan dari Pasaman. Bahkan dari Padang dan Pekan Baru. Di Bukit Tinggi orang penggalas kebat mengebat, pakuk memakuk, sayat menyayat. Heboh allahurabbi. Orang berserak di tengah balai. Yang menjual, yang membeli. Di pasar lereng jalan penuh oleh pedagang di bawah payung besar. Bukan, tidak ada yang menyebutnya pedagang kaki lima.

Orang yang ingin lalu harus berselingkit-selingkit, disela barang galas para pedagang, di sela ketiak orang lain, di sela kambuik gadang yang disandang amai-amai. Pasar itu heboh allahurabbi, oleh sorak dan sorai, oleh bunyi parang yang menetak dan memakuk.Begitu pula di jenjang yang bertingkat-tingkat. Orang menggalas belaka dimana saja ada tempat terbuka. Menggalas apa saja, jarum penjahit dan peniti, kain lap dan saputangan, pisau dan lading buatan Sungai Pua. Atau yang menggalas kerupuk jangek balatua mentah, atau tulang cancang, atau dadih di dalam sambang. Semua serba ada. Menggelar galas di sela-sela jalan orang lalu di jenjang gantung yang sempit berselingkit. Tidak ada yang menggerutu. Cara orang sekarang, tidak ada yang komplain. Semua berlapang dada saja. Semua mencari untung serupiah dua rupiah. Kenapa pula harus digerutui.Di puncak pasar di Pasar Atas, sesudah melalui jenjang yang bertingkat-tingkat, sesudah melalui bau amis darah di pasar bantai, sesudah melalui bau anyir di pasar maco, menguap bau harum sate yang bukan sate Padang karena yang berjualan orang Pekan Kamis. Sate mak Mamuik (Mahmud) dan sate mak Aciak. Asapnya menjulang ke udara.

Baunya yang semerbak menimbulkan rasa lapar. Ada pula bunyi bakalentongpentong orang mengaduk es di sampingnya. Es batu yang baru saja diketam untuk dicampurkan ke mangkuk es te bak yang sekarang diaduk dengan suara bakalentongpentong. Entah kenapa namanya es te bak. Tapi yang jelas rasanya bukan main nyaman, penawar pedas sesudah menyantap sepiring sate. Ada lagi soto bang Karto dan soto Haji Minah bersebelah-sebelahan. Bukan, keduanya bukan soto Padang. Orang yang membuatnya saja namanya bang Karto.Pasar Atas ramai, idem ditto. Berselingkit pingkit orang lalu di antara jualan dan dagangan. Boleh masuk ke dalam los demi los. Yang diantaranya ada yang bernama los bergalung. Tempat orang berjualan kain dan alas kaki. Berjualan tikar dan lapik pandan. Berjualan segala macam rempah yang baunya harum menyebar kemana-mana. Berjualan tembakau dan daun terusan ataupun daun enau, untuk digulung jadi paisok, yang bukan rokok.Di lapangan di hadapan mesjid raya, di samping panggung (bioskop) Irian ada orang berjualan obat. Entah obat apa, tidaklah penting sangat.

Yang berjualan suaranya parau. Banyak ceritanya. Berseleperan mulutnya. Kadang-kadang dibuatnya atraksi seperti tukang sulap. Berkerumun orang menonton dalam sebuah lingkaran besar. Penjual obat beraksi di tengah-tengah. Berjalan hilir mudik sambil mulutnya tidak henti-henti berceloteh. Mengiklankan obat pencahar yang dijualnya. Gelarnya konon Datuk Dalu. Obat yang dijualnya adalah untuk yang bermasalah dan sulit ke belakang. Kalau sudah memakan obat Datuk Dalu, puuut bunyi kentut, ceeer bunyi isi perut menyemprot sampai sejauh tiga meter. Meski yang berkerumun berbilang puluhan, yang membeli hanya empat lima orang tidaklah penting bagi Datuk Dalu.Beberapa puluh meter ke arah sana ada pula kerumunan yang lain. Tukang obat juga. Agak sedikit jelas obat yang dijualnya. Air racikan daun-daunan yang nanti dicampurnya dengan telur ayam dan madu untuk diminum para pembeli. Iklannya terdengar lebih pasti. ‘Obatku obat istimewa, bukan omong kosong. Obat orang Jerman hanya elok untuk orang Jerman. Obat orang Jepang hanya elok untuk orang Jepang. Obatku boleh untuk semua makhluk. Orang Jerman boleh meminumnya. Orang Arab boleh meminumnya. Orang Jepang boleh meminumnya. Sedangkan diberikan ke kuda jadi obat bagi kuda. Diberikan ke gacik (=anjing) jadi obat bagi gacik. Ha, singgahlah disini. Minumlah obat sitawa sidingin penyembuh sakit kepala. Penyembuh sakit hulu hati.’ Begitu katanya. Tentu saja dia benar, karena telur dan madu memang diminum setiap bangsa untuk jadi obat.Di tempat orang berkerumun menonton tukang obat itu ada pula yang sedang mengail rejeki. Caranya dengan merosok kantong orang diam-diam. Bagi yang serawarnya besar dan dompet diletakkan di kantong serawar besar itu alamat akan jadi makanan empuk si tukang rogoh. Si tukang copet ini biasanya berkawan, dua atau tiga orang. Tampangnya itu ke itu juga. Orang banyak yang tahu. Si tukang copet biasanya mencari tampang-tampang baru. Orang yang baru datang dari jauh. Orang kampung yang baru saja menjual hasil bumi. Orang merubung menonton penjual obat biasanya jadi sasaran enteng bagi pencopet.Barudin Sutan Bagindo pagi ini membawa 40 kilo lado (cabai merah) ke pasar Bukit Tinggi.

Panen lado sedang elok-eloknya dan harganyapun sedang elok-eloknya pula. Dari hasil panen kali ini Barudin berniat akan mengganti atap ijuk rumah gadang dengan atap seng. Uang hasil penjualan lado itu dibaginya dua. Separo diletakkannya ke dalam puro (=kantong khusus) kain yang diikatkannya dengan tali di pinggang celana. Yang separo, yang akan dibayarkannya sebagai uang muka pembelian seng di letakkannya dalam saku baju gunting cina. Sesudah menerima uang pembayaran beli lado Barudin berjalan santai menuju pasar atas melalui jenjang empat puluh. Jenjang ini tidak seramai jenjang yang lain. Hal pertama yang akan dilakukan Barudin sesampai di pasar atas adalah pergi makan ke lepau nasi langganannya.Di jalan yang sempit berselingkit di antara puncak jenjang empat puluh dan kedai nasi, Barudin terhalang oleh seorang laki-laki yang membungkuk mengambil saputangan jatuh. Tercatat juga di otaknya, bahwa agak aneh perbuatan orang laki-laki bersaputangan itu. Sempat terlihat olehnya roman muka orang itu yang berumur sekitar tiga puluh tahun, yang tersenyum kepadanya. Barudin tidak berprasangka apa-apa. Dia terus melangkah ke lepau.Barudin makan enak sampai berpeluh-peluh. Makan dengan gulai cancang kambing. Barulah dia terperangah ketika merogoh saku baju gunting cina untuk membayar. Saku itu sudah kosong melompong.Kapundung, katanya dalam hati. Ini rupanya arti tingkah si Kurapai yang membungkuk mengambil saputangan tadi. Uangnya sudah dicopet. Uang seharga 20 kilo lado sudah raib digondol si pencopet.

Barudin tidak mau merisaukan diri gara-gara uangnya dicopet. Dikeluarkannya uang dari puro yang terikat di ikat pinggangnya untuk membayar nasi orang lepau. Uang yang diniatkannya akan diserahkan kepada istrinya. Barudin adalah seorang laki-laki ninik mamak di kampung, yang menenggang dunsanak perempuan dan bertanggung jawab kepada anak istri.Dia tidak jadi singgah ke toko yang menjual atap seng. Biarlah besok hari Sabtu saja. Sesudah dia menjual lado pula di hari itu nanti. Dan mudah-mudahan dia bisa bertemu lagi dengan tukang copet kurapai tadi. Akan dijebaknya manusia jahil itu. Akan ditagihnya piutang kalau orang itu berjumpa lagi. Dia bergegas saja pulang ke kampungnya. Masih banyak kerja yang akan dikerjakan.***Sesuai rencana hari Sabtu berikutnya Barudin berangkat lagi ke pasar. Panen lado sedang naik. Hari ini hampir lima puluh kilo yang dibawanya. Alhamdulillah harganyapun bertambah elok. Lebih banyak bilangannya dari hari Rabu kemarin untuk sekilo lado. Barudin tidak perduli bahwa harga naik itu karena nilai uang kertas memang merosot terus dari sehari ke sehari. Ketika menerima uang harga lado dilakukannya persis seperti yang dikerjakannya tiga hari yang lalu. Uang itu diperduanya. Separo masuk puro dan separo masuk saku baju gunting cina. Hanya yang terakhir ini, kali ini dimasukkannya dulu ke dalam sebuah amplop. Kantong baju gunting cina menggelembung dengan amplop berisi uang kertas.Barudin mampir sebentar ke peturasan di dekat surau di pasar bawah. Seperti orang akan buang air kecil. Di kakus itu di keluarkannya kembali uang yang di dalam amplop dan dimasukkannya semua ke dalam puro. Amplop itu diisinya dengan kertas sehingga tetap menggelembung dalam sakunya. Barulah dia melangkah keluar.Hatinya berdetak bahwa dia sudah diamati orang sejak dia menerima uang pembelian lado tadi. Sekarang dia melangkah menuju jenjang empat puluh. Seperti hari Rabu kemarin.

Melalui jalan yang sama. Dia akan menuju lepau yang sama. Persis ketika akan menjejak jenjang empat puluh yang sebenarnya, dia di dahului tiga orang laki-laki. Satu dari ketiga laki-laki itu mengatakan ‘daulu saketek, mak’ (=saya duluan, paman) dengan sopan. Dan orang itu adalah yang waktu itu mengambil saputangan jatuh.Barudin bergumam dalam hati. Akan kuterima piutang, katanya.Dia sampai di puncak jenjang. Di hadapannya adalah keramaian pasar dengan orang yang sangat banyak. Barudin berjalan saja menekur seperti biasa. Tapi kali ini dia sedang berhitung dan berencana. Akan menagih piutangnya.Benar saja. Beberapa langkah menjelang lepau nasi. Di jalan yang sempit seperti kemarin. Tiba-tiba saja Barudin sudah berada di antara dua orang laki-laki. Di depannya adalah orang yang kemarin mengambil saputangan jatuh. Saat ini dia memegang sebungkus rokok Kansas. Di belakangnya terasa ada orang yang menyelingkit-nyelingkit sambil mendorong. Barudin sedang waspada penuh.Nah, inilah saatnya. Yang di depan menjatuhkan bungkus rokoknya. Barudin melihat itu dengan jelas karena memang sudah ditunggunya dari tadi. Berikutnya orang itu membungkuk mengambil rokok dengan mukanya seperti kemarin lagi, melengah ke belakang ke arahnya sambil tersenyum. Tangan orang yang di belakangnya secepat itu pula merogoh ke dalam kantong baju gunting cina Barudin. Inilah yang ditunggunya dari tadi. Secepat kilat, tangan yang sedang berada di saku bajunya itu ditangkapnya dengan tangan kanannya. Cap, tertangkap. Orang itu berusaha melepaskan tangannya dengan muka ketakutan. Barudin tidak mengambil banyak tempo. Dengan sekelebatan yang hanya berbilang detik, tangan orang itu dikeripukkannya sampai berbunyi seperti tulang patah. Pada saat yang sama si tukang halang di depannya yang baru bangkit dari mengambil rokok disepohnya dengan kaki sehingga jatuh terjengkang.Si perogoh melolong kesakitan. Telunjuk dan jari tengahnya patah terkulai-kulai. Si penghalang yang jatuh terjengkang luka, keningnya terhempas ke jalan. Barudin melihat orang ketiga. Dia sudah mengenalinya sejak menaiki jenjang tadi. Dia berbaju berwarna biru. Ketika orang ketiga ini berusaha menghindar, Barudin menarik pinggang celananya. Orang itupun pucat pasi ketika menoleh kepadanya. Dengan gerakan secepat kilat pula diraihnya tangan orang itu dan dipelintirnya dengan gerakan sangat cepat. Terkeripuk pula dengan bunyi tulang patah. Diapun melolong kesakitan.

Semua itu berlangsung dalam waktu tidak sampai lima belas detik. Orang di tengah balai yang ramai itu terheran-heran menyaksikan dua orang yang meraung-raung kesakitan. Tidak ada seorangpun yang tahu entah apa sebenarnya yang terjadi.Barudin mendekat ke si kening berdarah sebelum berlalu. ‘Ba karilahan wak yo,’ (=Saling mengikhlaskan kita, ya) katanya. Si kening berdarah hanya bisa menyeringai. Jual beli itu memang sudah selesai. Barudin mengambil untung sedikit dari ketiga sekawan yang kemarin sudah lebih dulu menerima uangnya. Hari ini giliran Barudin menerima piutang.Barudin melanjutkan langkahnya ke lepau nasi. Makan nasi dengan gulai cancang seperti kemarin dulu. Bahkan dua kali bertambuh. Habis juga tenaganya sesudah bersilat tiga jurus tadi. Barulah sesudah itu dia pergi ke toko seng. Baca Selengkapnya .. :-)

Kamis, 18 Desember 2008

Allâh Bersamaku, Memandangku Dan

Sahl bin 'Abdullâh At-Tusturî ra menuturkan: Sejak berusia tiga tahun, aku telah melakukan shalat malam. Suatu hari kuperhatikan bagaimana pamanku Muhammad bin Sawwâr melakukan shalat. Selepas shalat, beliau berkata kepadaku, "Apakah kau tidak berdzikir kepada Allâh yang telah menciptakanmu?""Bagaimana cara berdzikir kepada-Nya?" tanyaku. "Ketika kau kenakan pakaianmu, ucapkanlah kalimat di bawah ini dalam hatimu tanpa menggerakkan lisan sebanyak tiga kali: Allah bersamaku, Allâh memandangku, Allâh menyaksikanku.' Setelah beberapa hari kuamalkan dzikir itu, pamanku berkata, "Bacalah dzikir tersebut sebanyak tujuh kali setiap malam." Anjuran beliau ini pun kulakukan.Beberapa hari kemudian beliau berkata, "Bacalah dzikir itu setiap malam sebanyak sebelas kali."Setiap malam kubaca dzikir tersebut sebanyak sebelas kali, hatiku merasa nikmat. Setelah setahun berlalu, pamanku berkata, "Amalkan dan lakukan secara berkesinambungan apa yang telah kuajarkan kepadamu sampai kau mati nanti. Kalimat itu akan bermanfaat bagimu di dunia dan akhirat." Bertahun-tahun dzikir itu kuamalkan dan kutemukan kenikmatan dalam hatiku. Suatu ketika pamanku berkata, "Wahai Sahl, barang siapa Allâh bersamanya, memandang dan menyaksikannya, apakah dia akan bermaksiat kepada-Nya? Wahai Sahl, hati-hati, jangan sampai kau bermaksiat kepada-Nya."
Hikmah Dibalik Kisah
Sesungguhnya seorang anak dilahirkan dalam keadaan suci. Rasûlullâh saw bersabda: "Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai seorang yahudi, nasrani atau majusi." (HR Bukhârî, Muslim, Tirmidzî, Abû Dâwûd dan Ahmad)Pendidikan agama yang diberikan kepada anak sejak dini akan sangat menentukan pertumbuhan jiwanya. Jika sejak dini kita didik anak-anak untuk mengenal Allâh, maka di saat dewasa nanti dia akan menjadi seorang pemuda-pemudi yang beriman dan berbudi. Agar pendidikan tersebut melekat dan tertanam kuat dalam jiwa, kita harus menggunakan metode yang tepat, yaitu perlahan tetapi pasti. Artinya, sampaikan ilmu tersebut secara bertahap, sedikit demi sedikit, sehingga anak dapat mengamalkannya secara berkesinambungan. Coba bayangkan, sejak usia tiga tahun Sahl bin 'Abdullâh At-Tusturî telah diajarkan untuk shalat malam dan berdzikir kepada Allâh. Akhirnya dia tumbuh sebagai seorang ulama besar yang berbudi. Lain halnya dengan kita, karena tidak terbiasa melakukan shalat malam sejak kecil, maka saat ini shalat malam terasa berat untuk dilakukan.Sang paman sangat jeli, sejak dini ia ingin menanamkan sifat ihsân di dalam diri keponakannya. Dengan penuh kesabaran ia bimbing Sahl bin 'Abdullâh untuk selalu merasa dilihat, didengar dan diawasi Allâh. Beliau meminta Sahl untuk membaca dzikir itu di dalam hati dan tidak mengucapkannya dengan lisan, tujuannya adalah agar kalimat dzikir tersebut benar-benar meresap di dalam sanubari Sahl.Beliau mengajarkan hakikat dzikir. Lain halnya dengan kita, lisan kita sibuk berdzikir, membaca kalimat tasbih, tahmid, takbir dan lain sebagainya, tetapi sedikit pun hati kita tidak ikut berdzikir dan tidak memahami apa yang diucapkan lisan.Kendati demikian, dzikir lisan semacam ini sudah baik, daripada lisan kita menganggur atau membicarakan hal- hal yang buruk dan haram.Nb.(*) Diambil dari kiriman al-Habib Novel bin Muhammadal-'Aidrus, Solo. IMAM GHOZALI BERCERITA iniadalah buku terbaru terbitan Putera Riyadi, Solo Baca Selengkapnya .. :-)

Rabu, 10 Desember 2008

Denai Taragak jo Marapi

Sudah 10 tahun aku g pernah lagi menginjakkan kaki di puncak marapi, kangennya sudah sampai ke ubun-ubun tapi apa boleh buat karena jauh di rantau orang.
Ini foto pertama kali aku menginjakkan kaki di puncak marapi bersama dengan sahabat2 kos waktu kuliah di kota Padang, g terlalu banyak berfoto ria, maklum pertama kali mendaki langsung sampai puncak, kaki ini rasanya mau copot semua tapi Alhamdulillah ya Allah akhirnya aku sampai juga ke puncak marapi.
Karena sudah lama sekali g pernah mendaki gunung marapi, aku sempat berfikir masih sanggup apa g ya untuk mendaki gunung marapi, apalagi setelah aku di karuniai 2 orang buah hati, mungkin otot2 kakiku tidak sekuat dulu lagi sewaktu masih belum menikah.
Mendaki gunung memang merupakan salah satu hobby yang menarik, meskipun aktivitas ini mengandung resiko yang cukup besar, namun realitanya banyak orang menjadikannya sebagai alternatif refreshing. tak terkecuali aku.
Pertama kali mendaki gunung aku di ajak oleh sepupuku yang dia benar2 asli tinggal di kaki gunung tepatnya gunung singgalang tapi itu dulu banget. Bagi yang belum pernah mencoba ga rugi nyoba!, lumayan seru.Gunung Marapi Sumatera Barat berada sekitar 1,5 jam dari kota Padang ibukota propinsi Sumbar dan sekitar 30 menit dari kota Bukittinggi. Gunung ini berdampingan dengan gunung Singgalang dan Tandikek. Untuk jalur pendakian dapat melalui Koto Baru Padang Panjang atau Simabua Batusangkar. Lama perjalanan sekitar 4-6 Jam. Untuk persiapan logistik bisa di dapatkan di kaki gunung tersebut.
Baca Selengkapnya .. :-)

Selasa, 02 Desember 2008



Ulang tahun Rani yang pertama 24 Maret 2004

Semoga Panjang Umur dan Menjadi Anak yang Sholeh amin..

Baca Selengkapnya .. :-)